GADOGADONEWS


Kode Iklan Anda Disini

Friday, 25 September 2015

Fraktur Tibia Plateau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anatomi fungsional/biomekanik 1. Regio Lutut Dibentuk oleh condylus medialis dan lateralis tibia sebagai dasar sendi (fovea articularis), dengan condylus medialis dan lateralis femoris sebagai caput articularis. Persendian antara os femur dengan os tibia tidak terjadi secara langsung melainkan melalui tulang rawan yang disebut meniscus medialis dan meniscus lateralis. Pada resting position lutut dalam keadaan fleksi 25 dan pola kapsuler untuk fleksi lebih terbatas dari pada ekstensi (Magee, 1987). Sendi lutut dibentuk oleh sendi-sendi tibio femorale, patelo femorale, dan tibio fibulare (Magee, 1987). Gerakan yang terjadi pada sendi lutut yang utama adalah fleksi dan ekstensi. Aksis gerak fleksi dan ekstensi terletak di atas permukaan sendi yaitu melewati condylus femoris (Kapandji, 1968). Osteokinematika yang mungkin terjadi adalah gerakan fleksi dan ekstensi pada bidang sagital (S). LGS pada gerakan fleksi sendi lutut berkisar 120 - 130, apabila posisi panggul dengan fleksi penuh dapat mencapai 140. LGS pada gerakan ekstensi dapat berkisar antara 5 - 10 (hiperekstensi) atau 0 (Kapandji, 1968). Sedangkan untuk gerak eksternal rotasi terjadi saat gerak fleksi dengan LGS antara 10-15º. Dan untuk gerak internal rotasi juga terjadi saat gerak fleksi dengan LGS 10º (Kapandji, 1987). Pada permukaan articulatio femoralis lebih besar dari pada articulatio tibialis, saat condylus femoralis bergerak pada condylus tibialis (pada keadaan menumpu berat badan), condylus femoralis harus rolling dan slide untuk kembali pada tibia. Pada gerakan fleksi yang menumpu berat badan, condylus femoralis rolling ke posterior dan slide ke anterior. Meniscus mengikuti gerakan rolling dari condylus yang berlawanan ke arah posterior pada gerakan fleksi. Pada gerakan ekstensi, condylus femoralis rolling ke anterior dan slide ke posterior (Norkin, 1995). Pada gerak aktif dengan tidak menumpu berat badan, permukaan articulatio tibialis yang konkaf slide pada condylus femoralis yang konvek memberikan petunjukyang sama pada gerakan shaft tibia. Condylus tibialis slide ke posterior pada condylus femoralis selama gerakan fleksi. Selama ekstensi dari full fleksi, condylus tibialis slide ke anterior pada condylus femoralis (Norkin, 1995). Gambar 2 Tulang Tibia dan Fibula kiri tampak depan (Putz, 2000) Keterangan gambar 1. Tulang fibula 2. Tulang tibia B. Patologi dan Problematika Fisioterapi 1. Definisi a. fraktur tibia plateu schazlter I Fraktur Tibia plateu merupakan suatu kondisi dimana proximal dari os tibia mengalami perpatahan. Ada banyak klasifikasi fraktur tibialis plateau. Pada tahun 1900, Muller mengusulkan sebuah sistem klasifikasi untuk fraktur tibialis plateau yang patah tulang dikategorikan berdasarkan jumlah keterlibatan artikular. Hohl dan Luck mengusulkan klasifikasi patah tulang plateau yang mencakup nondisplaced, lokal-depresi, split-depresi, dan patah tulang membelah. Hohl kemudian diperluas untuk mencakup klasifikasi fraktur comminuted. Pada tahun 1981, Moore mengusulkan sebuah sistem klasifikasi untuk patah-dislokasi Kondilus tibialis yang mengambil mempertimbangkan cedera jaringan lunak. Schatzker dkk mengusulkan sistem klasifikasi patah tulang Kondilus berdasarkan pola fraktur dan anatomi fragmen, yang dikelompokkan menjadi 6 jenis. Sistem klasifikasi ini, sebagai berikut, secara luas diterima dan digunakan: • Tipe I fraktur biasanya pada kondilus tibia lateral. Pada pasien yang lebih muda yang tidak menderita osteoporosis berat, mungkin terdapat retakan vertical dengan pemisahan fragmen tunggal. Fraktur ini sebenarnya tidak tergeser atau jelas sekali tertekan dan miring, kalau retakannay lebar, fragmen yang lepas atau meniscus lateral dapat terjebak dalam celah. Type 1 • Tipe II adalah peremukan kominutif pada kondilus lateral dengan depresi pada fragmen. Tipe fraktur ini paling sering ditemukan dan biasanya terjadi pada orang tua dengan osteoporosis. Type 2 • Tipe III adalah peremukan kominutif dengan fragmen luar yang utuh. Fraktur ini mirip dengan tipe II, tetapi segmen tulang sebelah luar memberikan selembar permukaan sendi yang utuh. Fragmen yang tertekan dapat melesak ke dalam tulang subkondral. Type 3 • Tipe IV adalah fraktur pada kondilus tibia medial ini kadang – kadang akibat cedera berat, dengan perobekan ligament kolateral lateral.. Type 4 • Type V fraktur pada kedua kondilus, dengan batang tibia yang melesak diantara keduanya. Type 5 • Type VI adalah kombinasi fraktur kondilus dan sub kondilus, biasanya akibat daya aksial yang berat. Fraktur ini bersifat kompleks bicondylar di mana komponen condylar terpisah dari diaphysis tersebut. Depresi dan fragmen fraktur impaksi adalah aturan. Ini hasil pola dari energi tinggi trauma dan kombinasi beragam kekuatan.. Lihat gambar di bawah. Jenis fraktur tibialis plateau VI menjalani fiksasi biologis dan eksternal fiksasi kondilus lateral medial dataran tinggi, mengakibatkan klinis dapat diterima dan hasil radiologi. Type 6 2. Etiologi Fraktur tibial plateu terjadi dikarenakan kekuatan varus dan valgus bersama-sama dengan pembebanan aksial (kekuatan varus mungkin hanya akan merobek ligament, kebanyakan kasus disebabkan oleh jatuh dari ketinggian dimana lutut dipaksa masuk dalam varus atau valgus. Kondilus tibia remuk atau terbelah oleh kondilus femur yang berlawanan yang tetap utuh. Pasien yang biasanya berumur antara 50 dan 60 tahun dan sedikit mengalami osteoporosis, tetapi fraktur dapat terjadi pada orang dewasa pada setiap umur. 3. Perubahan Patologi Tindakan yang biasa dilakukan sebagai penanganan fraktur ini adalah dengan dilakukan operasi. Tindakan ini meliputi reduksi dan pemasangan internal fiksasi. Pada tindakan operasi, yang dilakukan saat incisi/pembedahan maka cairan akan menyusup/ menggenang diantara sel, akan mengakibatkan terjadinya radang akut, sehingga pembuluh darah yang rusak akan menyebabkan bengkak, bengkak yang terjadi akan merangsang/menekan nociceptor sehingga akan menyebabkan timbulnya nyeri dan rasa sakit akibat luka operasi akan menyebabkan pasien tidak mau untuk bergerak dalam tempo yang lama dan tidak mau melakukan aktivitas. Dan apabila hal ini dibiarkan dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan keterbatasan LGS pada sendi panggul dan lutut, serta menurunnya kekuatan otot dan gangguan fungsi kaki untuk berjalan (Garrison, 1996). Waktu penyembuhan tulang pada fraktur sangat bervariasi dari individu satu ke individu yang lainnya. Gerakan pada daerah fraktur dapat menghambat penyatuan tulang. Faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur antara lain usia pasien, banyak displacement fraktur, jenis fraktur, lokasi fraktur, pasokan darah pada daerah fraktur dan kondisi medis yang menyertainya (Garrison, 1996). Pada fraktur, proses penyambungan tulang dibagi lima tahap yaitu: (1) Hematoma Hematoma adalah suatu proses perdarahan dimana darah pada pembuluh darah tidak sampai pada jaringan sehingga osteocyt mati, akibatnya terjadi necrose. Hematoma yang banyak mengandung fibrin melindungi tulang yang rusak. Setelah 24 jam suplai darah ke area fraktur mulai meningkat. Stadium ini berlangsung 1 sampai 3 hari (Gartland, 1974). (2) Proliferasi Proliferasi adalah proses dimana jaringan seluler yang berisi cartilage keluar dari ujung – ujung fragmen sehingga tampak di beberapa tempat bentukan pulau – pulau cartilage. Pada stadium ini terjadi pembentukan granulasi jaringan yang banyak mengandung pembuluh darah, fibroblast dan osteoblast. Haematoma merupakan dasar untuk proses penggantian dan penyembuhan tulang, yang berlangsung 3 hari sampai 2 minggu (Gartland, 1974). (3) Pembentukan callus atau kalsifikasi Pembentukan callus atau kalsifikasi adalah proses dimana setelah terjadi bentukan cartilago yang kemudian berkembang menjadi fibrous callus sehingga tulang akan menjadi sedikit osteoporotik. Pembentukan ini terjadi setelah granulasi jaringan menjadi matang. Jika stadium putus maka proses penyembuhan luka menjadi lama. Fase ini berlangsung 2 sampai 6 minggu (Gartland,1974). (4) Konsolidasi Konsolidasi adalah suatu proses dimana terjadi penyatuan pada kedua ujung tulang. Callus yang tidak diperlukan mulai diabsorbsi (Gartland, 1974). Pada tahap ini tulang sudah kuat tapi masih berongga. Fase ini biasanya butuh waktu 3 minggu sampai 6 bulan. (5) Remodeling Remodeling adalah proses dimana tulang sudah terbentuk kembali atau tersambung dengan baik. Pada tahap ini tulang semakin menguat secara perlahan – lahan terabsorbsi dan terbentuk canalis medularis. Tahap ini berlangsung selama 6 minggu sampai 1 tahun (Gartland, 1974). Menurut Michlovitz (1996) terdapat 4 tahap penyembuhan cidera jaringan lunak yaitu : (1) tahap injury, (2) inflammation, (3) proliferation dan (4) remodeling. (1) Injury Pada tahap ini, otot dan jaringan lunak disayat pada proses operasi yang menyebabkan luka, perdarahan dan pembekuan darah pada area luka. Darah akan keluar dari pembuluh darah yang rusak dan mengisi jaringan interstitial. Pada tahap ini juga terjadi kerusakan pada sel dan struktur ekstraseluler (Michlovitz, 1996). (2) Inflamation (1 – 10 hari) Dalam 24 jam akan terjadi reaksi radang mendadak / acute inflamation. Reaksi ini sebagai bentuk pertahanan diri yang melibatkan beberapa sistem di dalam tubuh seperti : sistem vaskuler, hemostatic, celluler dan sistem imun (Michlovitz, 1996). Pada masa ini terdapat tanda – tanda radang seperti nyeri, bengkak, kemerah – merahan, teraba terasa panas, dan gangguan fungsi. Kerusakan jaringan akan merangsang pengeluaran zat – zat kimiawi dari dalam tubuh seperti histamine dan prostagladin yang membuat nyeri. Pada masa ini juga terjadi fase penyembuhan melalui proses fagositosis jaringan yang nekrotik oleh sel radang seperti leukosit maupun makrofag (Michlovitz, 1996). (3) Proliferation (3 – 20 hari) Pada masa ini, terjadi proses revaskularisasi dan penutupan luka. Proses revaskularisasi dimulai dengan tumbuhnya tunas – tunas atau sel – sel pembuluh darah yang saling berkaitan pada daerah luka dan akan bergabung membentuk arteriole, venula dan membentuk kapiler (Michlovitz, 1996). Sedangkan penutupan luka dimulai pada hari ke-2 dan ke-3 yang dimulai dengan pembentukan fibroblast (jaringan pengikat muda) yang mempunyai kemampuan kontraktil yang disebut myofibroblast yang mengakibatkan tepi luka akan tertarik mendekat. Pada hari ke-3 dan ke-4 jaringan granulasi akan mengganti eksudat dan jaringan yang mati dengan jaringan yang baru. Pada hari ke-4 sampai dengan hari ke-14 fibroblast akan menghasilkan serabut kolagen yang pada akhirnya akan terbentuk jaringan parut yang miskin vaskularisasi (Michlovitz, 1996). (4) Remodeling (dimulai hari ke-9) Pada masa ini, akan terjadi proses penyeimbangan formasi collagen yang baru dan hilangnya collagen yang lama. Selama terlihat seperti jaringan parut yang tidak normal, maka proses remodeling sedang terjadi dan mungkin berlangsung beberapa tahun. Jaringan parut yang tidak normal mungkin terbentuk ketika banyak terproduksi collagen yang kemudian direabsorbsi. Produksi collagen yang berlebihan akan menghasilkan jaringan heterotropic atau keloid (Michlovitz, 1996). 4. Tanda dan Gejala Tanda dan gejala klinis yang sering ditemukan post operasi pada kasus diatas adalah : timbul rasa nyeri, terdapat oedema, keterbatasan LGS, dan penurunan kemampuan fungsional 5. Komplikasi Komplikasi yang dapat terjadi ada tiga macam yaitu komplikasi yang berhubungan dengan fraktur, komplikasi yang berhubungan dengan tindakan operasi dan komplikasi yang berhubungan dengan immobilisasi. Komplikasi yang berhubungan dengan fraktur yaitu : a. Infeksi Infeksi dapat terjadi karena penolakan tubuh terhadap implan berupa internal fiksasi yang dipasang pada tubuh pasien. Infeksi juga dapat terjadi karena luka yang tidak steril (Adams, 1992). b. Avascular necrosis Avascular necrosis adalah nekrosis atau kerusakan tulang yang diakibatkan adanya defisiensi suplai darah (Appley, 1995). c. Non union Non union adalah suatu keadaan tidak tersambungnya fragmen tulang. Kegagalan fragmen tulang untuk menyatu setelah lima bulan kemungkinan disebabkan oleh faktor usia, kesehatan umum dan pergerakan pada tempat fraktur (Garisson, 1996). d. Mal union Mal union adalah penyambungan tulang yang tidak baik seperti adanya angulasi, pemendekan, deformitas atau kecacatan (Adams, 1992). e. Delayed union Delayed union adalah suatu kondisi dimana terjadi penyambungan tulang tetapi terhambat, yang disebabkan oleh adanya infeksi dan tidak tercukupinya peredaran darah ke fragmen tulang (Adams, 1992). f. Shortening Shortening merupakan pemendekan tulang yang diakibatkan oleh mal union, loss of bone dan gangguan epiphyseal pada anak-anak (Appley, 1995). Komplikasi yang berhubungan dengan tindakan operasi yaitu kerusakan pembuluh darah, cedera syaraf perifer, komplikasi kulit, RSD (Refleks Distrofi Simpatetik) adalah sindrom nyeri, hyperesthesia, gangguan vasomotor dan perubahan distrofik pada kulit dan tulang dari ekstremitas yang terkena, sindroma kompartemen adalah suatu kondisi yang terdapat kenaikan tekanan didalam suatu ruangan atau kompartemen yang tertutup sehingga terjadi gangguan fungsi jaringan yang terdapat didalam kompartemen tersebut dengan ciri-ciri yaitu nyeri, pallor, pulse lessness, paralysis dan paraesthesia (Garrison, 1996). Menurut Appley, komplikasi pada fraktur tibia plateau antara lain a. Dini Sindroma kompartemen pada fraktur bikondilus tertutup terdapat banyak perdarahan dan resiko munculnya sindroma kompartemen. Kakai ujung kaki harus diperiksa secar terpisah untuk mencari tanda-tanda iskemia. b. Belakangan Kekakuan sendi pada fraktur kominutif berat, dan setelah operasi kompleks terdapat banyak resiko timbulnya kekakuan lutut. Resiko ini dicegah dengan (1) menghindari imobilisasi gips yang lama (2) mendorong dilakukannya gerakan secepat mungkin. c. Deformitas Devormitas valgus atau varus yang tersisa amat sering ditemukan baik karena reduksi fraktur tak sempurna ataupun karena telah direduksi dengan memadai, fraktur mengalami pergeseran ulang selama terapi. Untungnya, deformitas yang moderat dapat memberikan fungsi yang baik, meskipun pembebanan berlebihan pada satu kompartemen secara terus menerus dapat menyebabkan predisposisi untuk osteoarthritis dikemudian hari. d. Osteoarthritis Osteoarthritis bertentangan dari kepercayaan umum, osteoarthritis bukanlah akibat panjang yang lazim dari terapi konservatif. Lansinger dkk, (1986), dalam tindak lanjut pada serangkain kasus besar yang dipantau selama 20 tahun, melaporkan hasil yang sangat baik pada 90% pasien bila tidak ada ketidakstabilan ligamentum atau depresi yang nyata. Sekalipun penampilan sinar X menunjukkan osteoarthritis lutut mungkin tidak terasa nyeri. Tetapi, kalau timbul osteoarthritis yang nyeri dan kondilus lateral terdepresi, operasi rekonstruktif dapat dipertimbangkan. 6. Prognosis Kasus multiple fraktur pada kasus diatas mempunyai prognosis yang ragu-ragu ke arah baik karena beberapa faktor yaitu usia pasien yang masih muda, tipe fraktur yang tidak terlalu parah, dan yang paling penting adalah (4) sifat kooperatif keluarga untuk membantu kesembuhan pasien dan yang terakhir adalah tindakan medis berupa operasi dan rehabilitasi berupa fisioterapi yang tepat dan benar, 7. Problematika fisioterapi Problematika fisioterapi yang muncul meliputi impairment dan functional limitation. Pada impairment problematika yang muncul adalah: a. Adanya nyeri Reaksi nyeri terjadi karena adanya subtansia aktif yang menyebabkan timbulnya nyeri tersebut. Pada saat timbul reaksi inflamasi histamine, akan segera keluar eosinophyl, sel mast dan basophyl pada pembuluh darah kapiler yang rusak dan dapat menimbulkan dilatasi lokal dan peningkatan permeabilitas (Lachmann, 1988). Vasodilatasi pada pembuluh darah kapiler, arteri dan vena akan mengeluarkan cairan transudat yang selanjutnya akan menekan syaraf sensoris sehingga timbul rasa nyeri. Adanya luka incisi menyebabkan terpotongnya pembuluh darah dan terjadi akumulasi cairan di daerah tertentu sehingga menekan saraf sensorik (nociceptor) yang akibatnya timbul nyeri. Pengukuran derajat nyeri dengan menggunakan VAS (Visual Analoque Scale), yaitu cara pengukuran derajad nyeri dengan menggunakan satu titik pada garis skala nyeri (0-100 mm), salah satu ujung menunjukkan tidak nyeri dan ujung yang lain menunjukkan nyeri yang hebat. b. Adanya oedem pada tungkai Oedema dapat timbul dikarenakan adanya kerusakan pada pembuluh darah akibat incisi, sehingga cairan yang melewatinya tidak lancar, terjadi akumulasi cairan dan menimbulkan bengkak. Untuk mengetahui adanya oedema dengan pemeriksaan antropometri dengan menggunakan midline. c. Adanya keterbatasan LGS Permasalahan ini timbul karena rasa nyeri, sehingga pasien enggan untuk bergerak dan beraktifitas. Keadaan ini menyebabkan perlengketan jaringan dan LGS dapat terganggu. Adanya keterbatasan LGS diukur dengan menggunakan goneometer. d. Adanya penurunan kekuatan otot Permasalahan ini timbul karena adanya rasa nyeri, sehingga pasien tidak mau bergerak dan beraktifitas dalam waktu yang lama. Keadaan ini menyebabkan terjadinya penurunan kekuatan otot pada lutut. Adanya penurunan kekuatan otot di ukur dengan menggunakan MMT. C. Teknologi Intervensi Fisioterapi Terapi latihan merupakan salah satu upaya pengobatan dalam fisioterapi yang pelaksanannya menggunakan latihan-latihan gerak tubuh baik secara aktif maupun pasif (Kisner, 1996). Secara umum tujuan terapi latihan adalah meliputi pencegahan disfungsi dengan pengembangan, peningkatan, perbaikan atau pemeliharaan dari kekuatan dan daya tahan otot. Kemampuan kardiovaskuler, mobilitas dan fleksibilitas jaringan lunak, stabilitas, rileksasi, koordinasi, keseimbangan dan kemampuan fungsional (Kisner, 1996). Teknologi/modalitas fisioterapi yang dapat digunakan pada kasus ini yaitu berupa terapi latihan. Jenis terapi latihan yang dapat digunakan antara lain: 1. Static contraction Static contraction merupakan kontraksi otot tanpa disertai perubahan panjang otot dan perubahan LGS. Static contraction dapat mengurangi oedem sehingga nyeri berkurang dan dapat memperlancar aliran darah dan menjaga kekuatan otot agar tidak terjadi atrofi (Kisner, 1996). 2. Active Movement Active movement merupakan gerakan yang timbul dari kekuatan kontraksi otot pasien sendiri secara volunter/sadar (Kisner, 1996). Dengan gerakan active movement maka akan timbul kontraksi otot, meningkatkan sirkulasi dan nutrisi ke jaringan lunak sekitar fraktur, termasuk pada fraktur itu sendiri, sehingga proses penyambungan tulang dapat berlangsung dengan baik. Teknik active movement yang dilakukan yaitu: a. Assisted Active Movement Yaitu suatu gerakan aktif dengan bantuan kekuatan dari luar, sedangkan pasien tetap mengkontraksikan ototnya secara sadar. Bantuan dari luar dapat berupa tangan terapis, papan, maupun suspension. Terapi latihan jenis ini dapat membantu mempertahankan fungsi sendi dan kekuatan otot setelah terjadi fraktur (Appley, 1995). b. Free Active Movement Yaitu suatu gerakan aktif yang dilakukan oleh adanya kekuatan otot dan anggota tubuh itu sendiri tanpa bantuan, gerakan yang dihasilkan oleh kontraksi dengan melawan pengaruh gravitasi (Basmajian, 1978). Adanya gerakan yang melibatkan banyak otot ini maka akan mempengaruhi kelancaran pada sirkulasi darah yang kemudian bisa mempengaruhi oedema pada tungkai. Dengan berkurangnya oedema pada daerah sekitar fraktur maka akan dapat mengurangi rasa nyeri yang disebabkan oleh adanya oedema. c. Resisted Active Movement Yaitu gerak aktif dengan tahanan dari luar terhadap gerakan yang dilakukan oleh pasien. Tahanan dapat berasal dari terapis, pegas maupun dari pasien itu sendiri. Salah satu cara untuk meningkatkan kekuatan otot adalah dengan meningkatkan tahanan secara bertahap dan pengulangan gerakan dikurangi. d. Hold Relaxed Hold relaxed merupakan salah satu teknik dari PNF yaitu metode untuk memajukan atau mempercepat respon dari mekanisme neuromuscular melalui rangsangan pada propioseptor. Dalam pelaksanaan teknik hold rilaxed sebelum otot antagonis dilakukan penguluran, otot antagonis dikontraksikan secara isometris melawan tahanan dari terapis ke arah agonis kemudian disusul dengan rileksasi dari otot tersebut (Yulianto Wahyono, 2002). Hold relaxed bermanfaat untuk rileksasi otot-otot dan menambah LGS serta dapat untuk mengurangi nyeri. 3. Positioning untuk tungkai Positioning yaitu perubahan posisi anggota gerak badan yang sakit. Untuk mengurangi oedema pada tungkai, maka tungkai di elevasikan dengan cara di ganjal bantal setinggi 30-45. 4. Transfer ambulasi Latihan transfer ambulasi dilakukan secara bertahap, yaitu dari posisi terlentang ke tidur miring, ke posisi duduk kemudian bertahap meningkat ke berdiri.Ambulasi dilakukan dengan alat bantu kruk dengan pola jalan non weight bearing 5. Closed kinetic chain Teknik latihan dengan konsep adanya penumpuan dan melibatkan banyak sendi, pada kasus tibia plateau maka posisi pada tibia harus diam dan yang bergerak adalah femur. Dengan kata lain pergerakan femur terhadap tibia. Posisi yang digunakan adalah posisi merangkak dengan posisi ankle berada di tepi bed, sehingga posisi dari tibia lurus dan yang menumpu pada bed adalah femur.

No comments:

Post a Comment